SURAKARTA – Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) menyelenggarakan Webinar Series APHTN-HAN Menuju Pemilu 2024 – Series 2 : Menakar Konstitusionalitas Syarat Usia Capres dan Cawapres dengan Pengantar Diskusi yaitu Prof.Dr. Siti Marwiyah, S.H., M.H. selaku Ketua Pengurus Pusat APHTN-HAN , lalu beberapa narasumber yaitu : Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H. selaku Sekretaris Jendral Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (APHAMK), lalu Dr. Ferry Daud Liando, S.I.P., M.Si. selaku Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sam Ratulangi, lalu Dr.M. Rullyandi, S.H., M.H. selaku Akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, dengan Moderator yaitu Hartono Tasir Irwanto, S.H., M.H. berasal dari Institut Agama Islam Polewali Mandar dan juga selaku Pengurus Daerah APHTN-HAN Sulawesi Barat. Acara diselenggarakan secara daring (online) pada Senin, 10 Juli 2023 pukul 13.00 Waktu Indonesia Barat (WIB) hingga selesai dan dilaksanakan melalui ZOOM Meeting serta ditayangkan dalam Kanal YouTube APHTN-HAN Official
Syarat usia untuk calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Indonesia telah menjadi topik perdebatan yang hangat. Sejak ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, syarat usia untuk menjadi capres dan cawapres adalah minimal 35 tahun. Namun, beberapa pihak telah mempertanyakan konstitusionalitas dari syarat usia ini, mengklaim bahwa hal tersebut membatasi hak politik individu. Pendukung syarat usia minimal untuk capres dan cawapres berargumen bahwa pengalaman dan kedewasaan adalah faktor penting dalam memimpin sebuah negara. Usia yang lebih matang diyakini dapat memberikan kebijaksanaan dan pemahaman yang lebih baik dalam menghadapi tugas dan tanggung jawab kepemimpinan. Selain itu, mengharuskan calon memiliki usia yang lebih tinggi dapat menghindarkan negara dari risiko pemimpin yang kurang matang secara emosional atau belum memiliki pemahaman yang cukup tentang masalah yang kompleks di tingkat nasional.
Namun, di sisi lain, para penentang syarat usia tersebut berpendapat bahwa hal tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap individu yang memenuhi persyaratan lainnya, seperti syarat kewarganegaraan dan pendidikan. Mereka berpendapat bahwa kemampuan kepemimpinan seseorang tidak dapat diukur secara langsung berdasarkan usia, dan seharusnya diberikan kesempatan kepada individu yang memiliki kualifikasi dan visi kepemimpinan yang kuat, terlepas dari usia mereka. Dalam konteks konstitusionalitas, argumen pro dan kontra syarat usia capres dan cawapres perlu dipertimbangkan dengan seksama. Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memang memberikan ruang untuk adanya batasan-batasan dalam menjalankan hak politik. Namun, batasan tersebut haruslah rasional dan didasarkan pada tujuan yang sah, seperti kepentingan nasional atau kestabilan politik.
Untuk menilai konstitusionalitas syarat usia capres dan cawapres, diperlukan pengujian terhadap tujuan dan justifikasi yang mendasarinya. Apakah tujuan dari persyaratan usia ini sesuai dengan kepentingan nasional dan apakah batasan usia secara objektif berkontribusi terhadap tujuan tersebut. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan apakah batasan usia ini merupakan solusi yang proporsional dan tidak berlebihan dalam mencapai tujuan tersebut. Pengujian konstitusionalitas juga dapat melibatkan pertimbangan tentang hak asasi manusia, termasuk hak individu untuk berpartisipasi dalam proses politik dan terlibat dalam kepemimpinan negara. Hak untuk memilih dan dipilih adalah hak yang diakui secara luas dalam sistem demokrasi, dan batasan-batasan yang diterapkan terhadap hak-hak tersebut harus memenuhi standar yang ketat dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan kepentingan publik dan hak individu.
Dalam konteks ini, penting bagi para pembuat kebijakan dan ahli hukum untuk melakukan evaluasi yang komprehensif terhadap syarat usia capres dan cawapres di Indonesia. Evaluasi tersebut harus mempertimbangkan argumen pro dan kontra serta prinsip-prinsip konstitusional dan hak asasi manusia. Jika terdapat temuan yang meyakinkan mengenai ketidaksesuaian syarat usia tersebut dengan konstitusi atau hak-hak asasi manusia, maka perlu dipertimbangkan langkah-langkah untuk merevisi atau menghapus syarat usia tersebut. Dalam upaya membangun sistem demokrasi yang inklusif dan memperkuat partisipasi politik, penting untuk terus melakukan diskusi terbuka dan mendalam mengenai syarat usia capres dan cawapres di Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara perlindungan kepentingan nasional dan hak-hak individu, serta memastikan bahwa proses pemilihan kepemimpinan negara mencerminkan kehendak rakyat secara luas. (Red.)